Selama ini kita terlalu sibuk memikirkan karir. Sekolah tinggi nan jauh disana, menghabiskan banyak waktu, tenaga dan fikiran hanya untuk mengejar mimpi memiliki karir yang gemilang. Bahkan sawah, ladang dan ternak hampir habis - barang kali ada juga yang sampai minus - untuk biaya pendidikan demi karir yang katanya di janjikan.
Baik, itu tidak salah dan pendidikan adalah lebih dari perlu, wajib. Tapi bukan semata demi karir, hingga harus menjual sawah, ladang dan ternak.
Seharusnya, sawah, ladang dan ternak yang telah kita miliki, kita kelola, kita kembangkan, bukan di musnahkan. Tapi masalahnya tidak tau bagaimana mengerjakan itu. Nah, justru karena itu kita sekolah, kita belajar, agar kita tau, agar kita mampu dan agar kita berani bersaing di pasar.
Apapun yang terjadi saat ini tidak lain hanya dari kebodohan dan keangkuhan kita. Air menjadi kering, sawah jadi tandus, kebun jadi gersang dan beras selalu habis sebelum gajian. Lauk juga jarang makan ikan, apalagi daging. Siapa suruh dulu terbang pohon sana sini. Kenapa ego terus di turuti buka lahan membabi buta. Terima aja proyek membeton bumi menanam baja. Mungkin iya saat ini kita kita masih kaya, tapi apa iya pola hidup itu yang akan diwariskan ke anak cucu nanti. Bisa kerja dengan bayar mahal, dapat proyek asal setoran pas, lalu mau buka lahan lagi, untuk beton lagi.
Setidak-tidaknya jika memang telat - semoga tidak telat - maka pola ini yang harus kita perbaiki. Kita kembalikan jati diri, diri yang benar-benar merdeka, tidak gengsi jadi anak petani. Tapi tentu kita harus berinovasi, menjadi petani cerdas yang bekerja dengan teknologi. Itu, baru namanya inovasi.
Daripada berfikir keras menggagas ide hanya demi jabatan dan promosi, kenapa tidak mencoba berfikir untuk petani. Saya anak petani dan saya adalah petani.
0 komentar:
Post a Comment