Mungkin tidak lah kesatria jika seorang petarung ingin menang dengan menunggu lawannya jatuh atau mungkin malah membuat jebakan agar lawannya jatuh. Seorang kesatria sejati harusnya mampu membuktikan diri melalui kepandaian, keberanian dan kejujurannya yang terangkum menjadi kehebatannya.
Saat ini, di era modernisasi atau beberapa orang mengatakan dijaman fitnah ini, banyak orang atau kelompok yang lebih mengharapkan lawannya, rivalnya atau mungkin saingannya untuk jatuh tersungkur, terpeleset dan sakit karena kebodohannya. Padahal jika di telisik lebih jauh, semua itu tidak menunjukkan bahwa ia bisa lebih baik dari lawannya.
Akan tetapi parahnya adalah pihak lawan juga akan menunggu atau mengharapkan hal-hal bodoh terjadi sehingga akan menjadi kesempatan yang sangat nikmat untuk membalas.
Jika demikian adanya, maka ini bukan lah sebuah pertarungan yang akan menghasilkan seorang juara yang cerdas dan tanggung, seolah kita sedang menyaksikan dua orang bodoh yang beradu, maka saat seorang bodoh menang, bukan berarti dia pintar.
Akibatnya, secara tidak sadar meski tidak bermaksud demikian, akan tetapi realita yang terjadi adalah hal ini diserap seolah menjadi pendidikan bagi generasi selanjutnya, celakanya disaat hal ini menjadi kebiasaan bodoh dan di anggap lumrah di kemudian hari.
Entah lah, demikian fenomena dramatika yang sedang dipentaskan oleh sandiwara kehidupan dengan orang-orang sebagai pemainnya dan beberapa menjadi penonton. Beberapa lebih memilih menjadi pengamat atau semacam peneliti yang mungkin sebenarnya berharap ingin jadi pemain dengan peran besar atau ingin menonton lebih dekat.
0 komentar:
Post a Comment